Kamis, 05 Februari 2009

Perang Pattimura

Berdasarkan Convention of London (1814), daerah Maluku diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda. Kedatangan Belanda kembali ke Maluku disambut dengan banyak perlawanan rakyat.

Rakyat Maluku banyak yang merasa trauma dengan penindasan dan penghisapan pada masa VOC antara lain seperti pelayaran Hongi, ektirpasa dan lain-lain, rakyat Maluku takut hal-hal di atas kembali terulang.

Pada tanggal 8 Maret 1817, masuklah 4 kapal perang Belanda ke Teluk Ambon. Empat kapal itu salah satunya mengangkut 2 orang penting Belanda. Mereka adalah Komisaris Van Middlekoop dan Engelhard. Sambutan penduduk Maluku sangat suram dan tidak meriah karena seperti disebutkan di atas, rakyat masih trauma dengan orang-orang Belanda.

Ketika Maluku dikuasai Inggris, seolah-olah rakyat Maluku ada pada masa yang menyenangkan. Inggris melarang semua pelanggaran atas hak mereka, kerja paksa dihapus, Inggris juga membeli hasil bumi Maluku dengan harga yang pantas. Ketika Belanda kembali, rakyat Maluku seperti kecewa dan tidak senang karena mereka punya dendam dengan orang-orang Belanda.

Perasaan trauma itu sepertinya akan terulang pada saat Residen gubernur Maluku menginstruksikan diberlakukan kembali kerja paksa (rodi) yang telah dihapuskan oleh pemerintah Inggris sebelumnya dan kewajiban kepada nelayan Maluku untuk menyediakan perahu (orambai) untuk keperluan administrasi dan militer Belanda. Selain itu yang paling berat adalah kerja paksa untuk keperluan penebangan kayu.

Sikap Belanda yang sewenang-wenang ini menimbulkan jiwa kritis rakyat Maluku timbul, rakyat Maluku mulai membandingkan pemerintahan Inggris dengan Belanda. Orang-orang Kristen yang dulunya kebanyakan bekerja untuk pemerintahan Inggris kini bergabung dengan golongan Muslim Maluku untuk merencanakan perlawanan terhadap Belanda.

Perlwanan dimulai ketika rakyat melakukan protes di Kantor Residen Saparua di dalam Benteng Duurstedee. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia membayar perahu Orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas karena selama ini perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Para pembuat perahu mengancam akan mogok jika tidak dibayar. Residen Saparua Van den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian itu menyebabkan kebencian rakyat Maluku semakin menjadi-jadi.

Akhirnya perlwanan dengan kekerasan senjata terhadap Belanda pun direncanakan. Dalam pertemuan antara para pemimpin rakyat Saparua (berjumlah 100 orang) dibicarakan mengenai rencana perlawanan dan juga dibicarakan mengenai siapa yang akan memimpin, selain itu di dalam rapat tersebut muncul desas-desus bahwa Belanda akan mengenakan wajib militer pada rakyat Maluku untuk ditugaskan ke Jawa, yang mana desas-desus ini menimbulkan perasaan was-was dan semakin menambah kebencian pada Belanda. Dalam rapat itu seorang pria bernama Matulessy tampak mendominasi pertemuan. Mattulessy memiliki nama lengkap ketika lahir adalah Achmat Lussy dan biasa dipanggil Mat Lussy, ketika Maluku dikuasai Inggris Mat Lussy bekerja sebagai anggota tentara kolonial Inggris dan memperoleh pangkat kapten (kapitan). Waktu itu Inggris membentuk Barisan Maluku di mana ada 400 orang Maluku yang bekerja untuk tentara Inggris. Karena begitu akrab dengan orang Inggris dan sangat menyukai kebudayaannya Mat Lussy bahkan berpindah agama menjadi Kristen Protestan Anglikan dan merubah namanya menjadi Thomas Matulessy. Ketika Inggris harus mengembalikan Maluku pada Belanda, Inggris menawarkan agar 400 orang barisan Maluku itu dipekerjakan untuk Tentara Belanda. Tetapi tawaran itu ditolak Belanda, akhirnya Barisan Maluku dibubarkan, dan 400 orang anggotanya yang kecewa termasuk Mattulessy terpaksa harus menganggur dan hal ini menyebabkan kekecewaan mereka pada Belanda.

Akhirnya pada peretengahan tahun 1817, Belanda menawarkan kepada 400 orang mantan Barisan Maluku untuk bergabung dengan tentara Belanda tetapi dengan syarat mereka harus mau ditugaskan ke Jawa. Tetapi banyak yang menolak karena Jawa dinilai sangat jauh dan mereka menuntut agar ditugaskan ke Kepulauan Maluku saja, tetapi Belanda menolak. Akhirnya dari 400 orang anggota barisan hanya 33 orang saja yang mau bergabung dengan Belanda.

Pengalaman di kemiliteran Inggris membuat Mattulessy cukup disegani karena keahliannya menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda, maka para pemimpin adat sepakat untuk mengangkat Mattulessy sebagai pemimpin dengan gelar Pattimura.

Pattimura menetapkan sasaran adalah Benteng Duurstede. Benteng di tepi pantai itu akan diserang oleh pasukan yang didaratkan dari pantai. Untuk mengangkut pasukan Pattimura merencanakan akan memakai orambai yang sedianya akan dipesan oleh Belanda.

Benteng Duurstede adalah tempat tinggal residen Saparua Johannes Rudolph Van den Berg yang baru berusia 29 tahun yang sejak 15 Maret 1817 menetap di sana. Ia tinggal bersama istri dan 4 anaknya. Selain keluarga residen, benteng ini juga dijaga oleh ratusan tentara dan pegawai administrasi.

Pada bulan April 1817, seorang Maluku bernama Pieter Matheus Sohoka, memberi tahu residen tentang pertemuan 100 pemuka adat Saparua. Yang mana pertemuan itu membahas tentang rencana pemberontakan. Residen yang masih muda dan baru membiasakan diri dengan lingkungan Maluku itu segera menanyakan kepada bawahannya tentang berita dari Sohoka itu. Para pembantu residen kemudian mengatakan bahwa berita dari Sohoka itu bohong belakan. Akhirnya Sohoka dihukum cambuk karena dianggap menyebarkan berita bohong. Akhirnya Sohoka yang sakit hati memutuskan untuk menggabungkan diri dengan pemberontakan.

Pada tanggal 15 Mei 1817 terjadi kerusuhan di Porto di mana sebuah perahu pos Belanda dirampas oleh rakyat yang marah, rakyat mengancam jika Pemerintah Belanda tidak bersedia membayar orambai maka perahu pos itu tidak akan dikembalikan berikut isinya.

Residen Van den Berg dengan ditemani 7 pasukan pengawal berangkat ke Porto untuk melakukan dialog dengan rakyat. Tetapi residen dan pengawalnya tidak tahu bahwa rakyat itu adalah pengikut Pattimura. Ketika sampai di daerah Haria, residen dan pengawalnya disergap dan semuanya berhasil ditangkap, beberapa pengawalnya bahkan ada yang terbunuh. Kuda residen dibunuh. Mengetahui residen ditawan oleh rakyat Saparua, maka dari Benteng Duurstede dikirimkan sekelompok pasukan senapan berjumlah 20 orang dan 12 orang Jawa bersenjatakan tombak. Di tengah jalan 32 orang serdadu itu dihujani dengan panah.

Pattimura kemudian membebaskan Van den Berg setelah residen ini mengancam bahwa jika seorang residen ditahan maka pemerintah Belanda di Batavia tidak akan tinggal diam dan pasti akan menghukum seluruh rakyat Maluku. Akhirnya residen dibebaskan dengan jaminan bahwa residen telah menganggap insiden penyanderaan itu selesai dan tidak akan memperpanjangnya selain itu residen berjanji akan melunasi orambai yang dibeli Belanda, Pattimura sadar bahwa residen berkata tidak jujur.

Residen pulang ke Benteng Duurstede dengan berjalan kaki. Sesampainya di benteng, ia segera meminta bantuan ke Ambon. Residen juga memerintahkan memperkuat pertahanan benteng.

Tetapi belum sempat permintaan bantuan ke Ambon itu tiba, malam harinya Pattimura dan pengikutnya sudah mengepung Benteng Duurstede.

Sementara itu, setelah membebaskan residen dan pengawalnya Pattimura dan pasukannya segera menuju Benteng Duurstede dengan menaiki orambai-orambai yang berjumlah puluhan.

Pagi hari sebelum matahari terbit orambai-orambai itu sudah sampai di pantai dan ribuan orang segera turun ke darat dan langsung melakukan serangan sporadis ke Benteng Duurstede. Pihak Belanda sangat kaget dengan serangan ini dan berusaha bertahan mati-matian. Tetapi tanpa dinyana dari hutan di belakang benteng juga terjadi serangan dari rakyat. Akhirnya Benteng Duurstede berhasil direbut tanggal 16 Mei 1817, seluruh isi benteng dibunuh termasuk residen dan keluarganya termasuk 4 anaknya yang masih kecil juga jadi korban sabetan kelewang yang tak bermata.Rakyat Maluku yang bekerja untuk Belanda juga menjadi korban. Namun, kemudian diketahui bahwa anak tertua Van den Berg tidak mati karena dia bersembunyi di bawah tumpukan mayat. Dengan jatuhnya Benteng Duurstede maka senjata-senjata yang ada di dalamnya juga ikut dirampas dan semakin menguatkan kedudukan Pattimura. Setelah menduduki benteng, Pattimura menurunkan bendera merah putih biru Belanda dan mengibarkan bendera Union Jack Inggris.

Sore harinya anak tertua Van den Berg ditemukan oleh salah seorang pemberontak bernama Samuel Pattiwael. Semua pasukan pemberontak ingin membunuhnya tetapi Pattimura mencegahnya dan bahkan mengangkat anak itu sebagai anak tirinya. Anak Van den Berg itu bernama Jean Lubbert.

Pada tanggal 29 Mei 1817, para tetua dari Pulau Saparua dan Nusa Laut mengeluarkan pernyataan mengenai alasan mereka memberontak. Pernyataan itu berisi :

Semuanaya telah terjadi, bahwa Kapitan Pattimura bersama-sama dengan raja-raja Saparua dan rakyatnya yang telah sakit hati karena tindakan Belanda sebagai berikut :

  1. Bahwa Pemerintah Belanda telah membedakan perlakuan antara penduduk muslim dan Kristen Maluku yang justru menimbulkan rasa tidak enak penduduk Kristen Maluku pada saudara Muslimnya.

  2. Pemerintah Belanda dengan kekerasan ingin mengambil para lelaki dari tiap keluarga untuk dibawa ke Batavia, bila mereka menolak akan dipaksa dan dibawa dengan tangan terborgol.

  3. Kami sebagai rakyat tidak mau memakai uanag kertas gulden. Bila menolak ternyata Belanda akan menghukum dengan berat. Tetapi jika kami ingin membeli barang dari gudang loji Belanda, kami tidak dapat membayar dengan uang kertas gulden tetapi dengan uang perak. Hal ini adalah pemerasan dan penipuan yang keterlaluan.

  4. Kami telah bekerja rodi pada Belanda tanpa dibayar sementara kami harus menghidupi keluarga kami.

  5. Semula tenaga kami dibayar penuh oleh Inggris. Kami pun hidup senang, dihormati, agama yang kami anut dijunjung tinggi. Karena itu rakyat begitu setianya pada Inggris. Tetapi semua tidak berlaku ketika Belanda datang.

  6. Karena itu kami rakyat Saparua dan Nusa Laut tidak mau lagi mendengarkan perintah dari Gubermen Belanda

  7. Bila pemerintah Belanda ingin memerintah kami, maka harus berlaku adil seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kerajaan Inggris Raya kepada kami. Jika tidak maka kami akan terus melawan.



Berita jatuhnya Benteng Duurstede dan terbunuhnya Residen Van den Berg sampai ke Batavia. Pemerintah Hindia-Belanda segera memerintahkan Mayor Beetjes untuk memimpin 242 pasukan dan 2 meriam untuk merebut kembali benteng itu. Pasukan itu akan dikirim dengan perahu tanpa perlindungan kapal perang. Hal ini dilakukan karena Pemerintah Belanda di Ambon memandang kedudukan Belanda di Ambon masih labil sehingga kapal-kapal perang harus tetap berada di Ambon. Tanpa perlindungan kapal perang Beetjes berhasil mendarat di Pantai Wae Sisil.

Usaha Beetjes menemui kegagalan, setelah mendarat pasukannya disergap oleh ribuan rakyat Saparua dihancurkan di pantai Wae Sisil depan Benteng Duurstede dan bahkan ia sendiri terbunuh.

Kemudian dikirim pasukan lagi yang lebih besar (950 orang) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Groot. Tetapi setelah pertempuran yang besar dan habis-habisan pasukan inipun bisa dihancurkan. Lagi-lagi pasukan Belanda ini tidak dilindungi oleh kapal perang.

Keberhasilan Pattimura ini menghilhami para pemimpin Maluku di lain daerah dan merekapun mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Di Hitu perlawanan dipimpin oleh raja Ulupaha yang berusia 80 tahun. Karena sudah tua jika berperang raja itu harus ditandu, tetapi perlawanan ini dapat digagalkan dan Ulupaha melarikan diri ke Seram. Di Seram Ulupaha tertangkap karena pengkhianatan salah satu anak buahnya.

Selain itu seorang raja bernama Paulus Tiahahu juga membantu perlwanan Pattimura dengan dukungan ekonomi dan bahkan penyediaan logistik dan pasukan. Bahkan salah seorang putri raja bernama Christina Martha Tiahahu memimpin perlwanan Maluku dari laut dan darat dengan cara membajak kapal Belanda di perairan Maluku.

Politik Devide et Impera dijalankan, Belanda mulai mendekati beberapa tokoh Maluku yang berpengaruh seperti raja, kepala suku, pendeta Kristen dan tokoh berpengaruh lainnya untuk ikut membantu mengalahkan Pattimura dan pengikutnya yang masih bercokol di Benteng Duurstede.

Akhirnya pasukan besar berjumlah 2000 orang dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Buijskes didaratkan di Saparua pada tanggal 30 September 1817 dan mengepung Benteng Duurstede. Kali ini serangan Belanda didukung oleh sebuah kapal perang penjelajah Maria Van Reigersbergen. Pattimura saat itu tidak sedang berada di benteng sehingga tidak berhasil ditangkap. Akhirnya benteng itu pun jatuh pada tanggal 3 Oktober 1817 dan beberapa tokoh pemimpin perlawanan ditangkap.

Brigadir Jenderal Buijskes kemudian memecat Residen Van Middelkoop dan Komisaris Engelhard. Buijskes mengangkat dirinya sebagai residen militer dan bertanggung jawab atas Maluku.

Buijskes kemudian mengirim surat kepada Raja Ternate dan Tidore. Dia meminta kepada kedua raja itu untuk mengirim pasukan membantu Belanda. Dalam suratnya itu Buijskes membawa-bawa sentimen agama untuk memecah belah. Kedua raja itu pun terpengaruh. Pada awal November 1817, sebanyak 1500 pasukan Ternate dan Tidore dari Suku Alfuru berikut perahu kora-kora nya bergabung dengan Belanda.

Bergabungnya 1500 pasukan Ternate-Tidore dari suku Alfuru ini membikin moral pasukan Pattimura sedikit kendor. Mereka merasa ngeri dengna kebengisan orang-orang Alfuru yang suka memenggal kepala jika membunuh musuhnya.

Pattimura membangun pertahanannya yang terdiri dari batu-batu karang. Bahkan peluru meriam Belanda tak mampu menghancurkannya. Pattimura membangun benteng karang ini di tempat-tempat strategis. Pertahanan ala Pattimura ini menimbulkan rasa salut Belanda pada Pattimura.

Pada tanggal 9 November Kapal-kapal perang Belanda menghujani sebuiah benteng karang milik pasukan Maluku. Setelah dibombardir dengan berat akhirnya kapal-kapal itu mendaratkan 3 kompi pasukan dan mengambil posisi mengepung serta menutup tiap-tiap celah, sementara kapal-kapal perang tetap menembaki, karena terus dikepung dan ditembaki akhirnya orang-orang Maluku tidak tahan lagi dan menyerah. Akhirnya dengan taktik ini Belanda mampu merebut benteng-benteng yang lain.

Kini Belanda di atas angin, dan Pattimura makin terdesak dan terpaksa harus melawan secara gerilya.

Usaha pembersihan kemudian dilakukan Belanda untuk meredam terulangnya kembali pemberontakan dan yang paling utama adalah menangkap Pattimura.

Usaha Belanda menangkap Pattimura terus menerus mengalami kegagalan dan akhirnya Pattimura ditangkap di sebuah rumah di daerah SiriSori. Pattimura dapat ditangkap karena pengkhianatan salah satu anak buahnya. Pattimura digiring dengan tangan terborgol dan dibawa ke kapal perang Evertzen. Di sana Pattimura diinterogasi oleh kapten kapal tetapi hanya diam saja walaupun Pattimura menguasai Bahasa Inggris. Di kapal itu juga ada pangeran Ternate yang ikut menanyai Pattimura kenapa ia begitu berani melawan Belanda. Pattimura hanya diam saja dan memandangi pangeran itu dengan wajah menghina.

Karena Pattimura bukanlah raja maka dia diperlakuka seperti tawanan perang rendahan.

Tertangkapnya Pattimura ini tidak membuat surut perlawanan Maluku. Raja Manusama Paulus Tiahahu dari Abobu, Nusa Laut terus melakukan pemberontakan dengan cara membajak kapal-kapal Belanda.

Untuk menumpas pemberontakan Belanda bertindak sangat kejam dalam menghukum daerah yang dicurigai sebagai sarang pemberontak. Rumah-rumah dibakar. Orang-orang Ternate dan Tidore yang membantu Belanda diijinkan untuk merampok dan merampas desa-desa di Saparua.

Raja Abobu Manusama Paulus Tiahahu akhirnya berhasil ditangkap beserta putrinya Christina Martha Tiahahu yang masih kecil (kurang lebih 17 tahun). Komodor VarHuell diperintahkan memimpin kapal perang Evertzen ke Nusa Laut. Sesampainya di Nusa Laut Evertzen mendapat penumpang istimewa yaitu Paulus Tiahahu dan anaknya Christina Martha Di pantai telah berkumpul rakyat Nusa Laut. Kemudian raja digiring ke geladak kapal dan ditembak di depan anaknya dan disaksikan oleh rakyatnya dari pantai. Akhirnya karena masih kecil, Christina Martha dibebaskan.

Tetapi Christina malah meneruskan perlawanan bapaknya. Sampai akhirnyaia kembali tertangkap bersama 39 orang sisa pengikutnya. Akhirnya 40 orang tahanan itu dibawa ke Batavia dengan kapal Evertzen-kapal tempat ayah Christina dihukum mati-. Di tengah perjalanan Christina tidak mau makan, sampai akhirnya ia mati kelaparan. Pada tanggal 1 Januari 1818 jenasah Christina dibuang ke laut.

Pada tanggal 16 Desember 1817, para pemimpin perlawanan Maluku dihukum gantung di Benteng Nieuw Victoria di tepi pantai Ambon. Mereka adalah Pattimura, Anthoni Ribok, Philip Latumahina, dan Said Parintah. Anak Residen Van den Berg yang telah dikembalikan kepada Belanda diharuskan menyaksikan hukuman ini.Upacara eksekusi ini cukup megah karena dimeriahkan dengan formasi kapal perang Belanda dan kora-kora Ternate dan Tidore, salvo meriam dan marching band.

. Kemudian paduan suara gereja menyanyikan lagu-lagu rohani. Kemudian seorang tentara berpangkat kapten membacakan keslaahan-kesalahan Pattimura dan kawan-kawan untuk kemudian membacakan keputusan vonis mati dengna digantung. Sebelum digantung Pattimura mengucapkan sebuah kata-kata yang terkenal. ”Pattimura-Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan bangkit kembali dan melawan.” Akhirnya matilah Pattimura dan kawan-kawan. Jenasah-jenasah para pemberontak ini dibiarkan bergantung di muka umum sampai membusuk.

Jean Lubbert-anak Van den Berg-, memohon kepada Pemerintah Belanda agari diizinkan melengkapi namanya menjadi Van den Berg Van Saparua untuk mengenang Pattimura.

Perlwanan rakyat Maluku berhenti setelah banyak pemimpin yang tertangkap atau terbunuh. Pada tahun 1821 perlwanan Maluku dapat dikatakan berakhir.

Perlawanan Maluku terjadi lagi pada tahun 1858, 1860, 1864, dan 1866 walaupun tidak seheroik pertempuran 1817-1821.



(Tony Prastono)

5 komentar: